Sejarah Pendidikan di Indonesia
Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini
Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”.
Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.
Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi.
Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)
Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.
Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.
Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan
Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.
Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.
Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global.
Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.
Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.
Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”
Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul.
Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.
Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).
Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”
Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini
Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”.
Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.
Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi.
Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)
Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.
Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.
Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan
Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.
Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.
Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global.
Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.
Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.
Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”
Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul.
Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.
Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).
Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”
Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini
Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”.
Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.
Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi.
Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)
Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.
Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.
Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan
Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.
Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.
Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global.
Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.
Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.
Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”
Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul.
Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.
Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).
Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”
0 komentar:
Posting Komentar