Powered By Blogger

Sabtu, 19 November 2011

Mengatasi pengganguran

Pendidikan adalah sarana untuk mentrasformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Pendidikan pun dijadikan standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan (prestice of life) dimata publik walaupun dari keturunannya yang tidak memiliki kekayaan berlimpah. Dengan pendidikan yang lebih tinggi pula, seseorang akan mudah mencari pekerjaan. Apalagi jika seseorang telah memperoleh gelar sarjana.
Seorang sarjana yang lebih punya bekal ilmu dan luas pengetahuannya, lebih mantap profesionalitas dan pengalamannya serta memiliki semangat wirausaha dengan jiwa kepemimpinannya yang matang seharusnya bebas dari pengangguran. Namun apa boleh dikata, realita di lapangan tidak begitu adanya. Pengangguran terdidik bagi para lulusan universitas sedikit banyak telah memperbesar angka pengangguran. Di Jawa Timur misalnya, ada lebih dari 57 ribu orang dengan gelar sarjana mengganggur dari sekitar 1 juta orang di Jatim yang mengganggur. (lagi…)

Selasa, 08 November 2011

Pendidikan Olahraga

Jumat, 08 Februari 2008

Pendidikan Jasmani

1..Pengertian
Pendidikan jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan, dan pembentukan watak
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional2. Tujuan Pendidikan Jasmani
1.Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
2.Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik
3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
4.Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
5.Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
6.Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.
1.Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya
2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya
5.Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya
6.Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung
7.Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.
4. Gerak sebagai kebutuhan anak
Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan. Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa.
Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya.
Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarn
5.Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani Dan Pendidikan Olahraga
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah : “Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.
Hal tersebut mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani dan kesehatan” (penjaskes) dalam kurikulum1994.
Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani ?
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial.
Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama

Pendidikan politik

Beberapa waktu yang lalu saya menonton sebuah acara di salah satu stasiun televisi bertajuk “kontrak politik”. Hampir sama seperti beberapa acara reality show yang berkonsep “bantuan instan” namun mengambil momentum politik. Ceritanya, tim kreatif stasiun TV tersebut mencari salah seorang anak jalanan yang tidak bisa melanjutkan sekolah dengan alasan klasik: masalah ekonomi. Lalu mereka mencari 2 calon legislatif dan meminta solusi dan meminta “kontrak politik”.
Pertama mereka mendatangi rumah salah satu caleg dari partai biru. Oleh sang caleg, si anak jalanan tersebut disuruh datang ke sebuah sekolah gratis di daerah Jakarta Timur yang dikelola oleh beberapa relawan. Sekolah itu dilakukan di sebuah rumah sederhana, sempit, dan alakadarnya. Sang caleg tidak menjanjikan apa-apa pada si anak. Dia meminta orang tua si anak untuk mencarikan sekolah gratis. Ketika si anak “mengeluh” karena sekolah itu jauh, dia meminta orang tua si anak untuk mencari sekolah sejenis di dekat tempat tinggal mereka.Andai tidak ada, dia bersedia memberikan biaya transport ala kadarnya.
Lalu sang anak dibawa ke caleg ke 2. Kebetulan dari partai berwarna merah. Disini si anak mendapat respon yang berbeda. Si caleg langsung membahas permasalahan ini ke tim suksesnya. Dia juga mengunjungi tempat tinggal si anak, lengkap dengan rombongan yang cukup banyak. Sianak akhirnya dijanjikan biaya sekolah yang ditanggung 100% oleh sang caleg. Tidak cuma itu. Untuk mengangkat perekonomian keluarga si anak, orang tua mereka dicarikan tempat berjualan, dan dimodali warung lengkap dengan segala isinya.
Diakhir tanyangan, pembawa acara mengembalikan pilihannya kepada si anak. Dan jawabannya bisa ditebak. Si anak memilih tawaran dari caleg ke 2. Happy Ending.
Buat saya, tontonan singkat berdurasi 30 menit itu mampu memberikan potret lengkap tentang sebuah negeri yang saya cintai ini. Rakyat yang miskin dan bodoh yang semakin bodoh karena dibodoh-bodohi orang pinter yang pengen segera lepas dari kemiskinan tapi tidak ingin instan;,  politikus populis yang terlihat seakan-akan memikirkan nasib rakyat dengan memberikan solusi instan yang tidak mendidik, yang sebenarnya tengah “berjualan” di  media untuk kepentingannya kampanyenya;,  media yang tengah memanfaatkan momentum dengan membuat acara demi rating tinggi dan iklan tinggi tanpa peduli apakah acara mereka memberikan nilai, makna, dan pembelajaran bagi penikmat acaranya atau hanya melakukan pembodohan;. Dan terakhir, penonton yang apatis yang cuma bisa mengutuk pembodohan yang terjadi di depan mata, atau penonton yang berharap semoga suatu saat nanti dia lah yang mendapatkan “rejeki nomplok” seperti anak jalanan tersebut.
Tidak ada yang mengagetkan dari tontonan itu. Cuma sebuah legitimasi baru yang hanya akan membuat kita semakin pesimis tentang masa depan negeri ini.Yang paling menyedihkan bagi saya meski bisa menerima realitanya bahwa mulai dari orang kaya, pintar dan berkuasa sampai anak jalanan rakyat jelata mentalnya sama : bermental oportunis dan instan.
Acara yang mungkin katanya berniat melakukan pendidikan politik tapi toh jelas hanya menunjukkan politisasi pendidikan.
Tapi toh harapan tetap harus dibangun.
Toh ditontonan itu terlihat bahwa ternyata anak-anak jalanan “keleleran” di pinggir jalan itu masih ingin sekolah dan orang tua mereka sangat ingin bahwa pendidikan itu penting sebagai media merubah nasib meskipun toh mereka lebih memilih solusi instan.
Ada politikus yang mencoba mencarikan solusi yang realistis namun mendidik meskipun dia tidak dipilih oleh si anak jalanan, meskipun bukan solusinya yang dipilih.
Buat medianya? Hanya bisa berharap akan ada media yang sadar bahwa mereka mampu mencuci otak banyak layaknya Nabi atau Pemimpin Negara, dan mereka bertanggungjawab langsung atas impact yang mereka hasilkan dari apa yang mereka sampaikan.
*Ditulis di dan untuk  Politikana, 24 Maret 2009

Pendidikan Politik

Pentingnya Pendidikan Politik Untuk Rakyat

Kamis, 7 April 2011 | 1:48 WIB

Editorial
Adakah partai kader sekarang ini? Pertanyaan ini sungguh menggelitik di jaman sekarang ini, suatu era dimana ideologi dianggap tidak lagi penting dan politik sudah dianggap “barang rongsokan”. Meskipun ada banyak partai politik, juga dengan bendera dan logo yang berbeda-beda, tetapi mereka memiliki kesamaan: tidak punya ideologi dan yang memandu mereka adalah pragmatisme kekuasaan.
Sekarang ini, konsep mengenai politik telah disempitkan pengertiannya menjadi sekedar cara memperoleh jabatan dalam pemerintahan. Padahal, jauh lebih luas dari pengertian itu, politik adalah seni membuat segala sesuatu yang tidak mungkin di hari esok menjadi mungkin hari ini. Atau, dengan kata lain, politik juga bisa dimaknai sebagai seni membangun kekuatan sosial sebagai bentuk penentangan terhadap sistem (penindasan).
Karena pengertian sempit itulah, ditambah petuah-petuah dari begitu banyak ilmuwan politik kanan dan liberal, maka rakyat pun dibuat semakin sinis terhadap politik, partai politik maupun politisi. Pertumbuhan kekecewaan atau skeptisisme terhadap politik, sebagaimana dikatakan oleh Marta Harnecker, seorang sosiolog kiri Amerika Latin, tidaklah begitu mengkhawatirkan bagi politik kanan (liberal). Sebab, seperti direkam oleh sejarah, kaum kanan dapat berkuasa dengan kediktatoran militer ataupun kebiasaan mereka akhir-akhir ini untuk menggantikan politisi dengan teknokrat.
Tetapi, apatisme terhadap partai politik akan menjadi masalah serius bagi gerakan perubahan. Sebab, tanpa sebuah gerakan politik atau instumen politik, maka gerakan perubahan akan kesulitan untuk mentransformasikan sistem.
Oleh karena itu, kita menyambut baik setiap upaya partai politik untuk menghidupkan kembali pentingnya “partai ideologis”. PDIP, misalnya, terlepas dari kekurangan yang terjadi di lapangan praktek, tetapi kita patut mengapresiasi usaha partai ini untuk menjadi partai berbasiskan ideologi. Jalan ideologi ini, menurut Ketua Umum PDIP, Megawati, menuntut hadirnya kader-kader militan sebagai penggerak.
Dan, secara khusus lagi, kita memberikan apresiasi besar kepada Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang mulai secara rutin menjalankan pendidikan politik terbuka kepada massa rakyat. Dalam beberapa bulan terakhir, PRD sedang aktif-aktifnya menjalankan pendidikan politik terbuka kepada massa. Salah satu hal menarik dari pendidikan politik itu, ialah diperkenalkannya kembali gagasan-gagasan Bung Karno mengenai Pancasila dan Sosialisme Indonesia.
Tentu, jika diibaratkan pembangunan rumah, maka apa yang dilakukan PDIP dan PRD ini barulah sebatas meletakkan batu pertama. Terlebih, dalam rangka menemukan kembali jalan ideologi, kedua partai politik ini juga dituntut untuk menerapkan tradisi atau praktik politik berbeda dengan partai-partai kanan-tradisional.
Kedepan, kita berharap bahwa rakyat tidak hanya bertemu parpol setiap lima tahun sekali di kotak suara, tetapi partai politik mulai hadir dan bekerja di tengah-tengah rakyat; melakukan advokasi kesehatan dan pendidikan, membela rakyat dari penggusuran, menentang perampasan tanah milik petani, dan hadir di tengah-tengah pemogokan kaum buruh.

Pendidikan Agama

Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
By admin
Friday, June 24, 2011 14:31:00 Clicks: 51 Send to a friend Print Version

Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
furqon/beritajakarta.com

BERITAJAKARTA.COM — 24-06-2010 14:31
Anggaran pendidikan di DKI Jakarta yang cukup besar membawa pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di DKI Jakarta. Kondisi ini tidak hanya dirasakan sekali manfaatnya bagi masyarakat kecil, tetapi juga mendapat apresiasi cukup besar dari kalangan DPRD DKI yang menilai program pendidikan yang diusung Pemprov DKI Jakarta dewasa ini sudah jauh lebih baik.

“Namun saya berharap penanaman agama dalam pendidikan juga harus ditambah. Karena muatan pendidikan budi pekerti luhur yang berkaitan dengan akidah, serta kearifan budaya masih sangat kurang. Padahal, anak didik perlu memiliki benteng diri dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang menjurus kepada hal yang negatif,” ujar Wasito Al Wasith, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta usai menjadi pembicara dialog interaktif bertajuk, Peningkatan Kualitas Mutu Pendidikan di DKI Jakarta yang diadakan Dinas Kominfo dan Kehumasan DKI Jakarta di Masjid Ar-Rohmah, Jl Kampung Duri, RT 05/01 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (24/6).

Untuk itu, Komisi E DPRD DKI Jakarta mengajak Pemprov DKI (eksekutif) bekerja sama merealisasikan perda khusus bidang pendidikan. Dia menyakini perda tersebut bisa memayungi sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan kelangsungan pendidikan di daerah sebagai wilayah otonom. Seperti di antaranya pendidikan gratis, merealisasikan pengangkatan status sekitar 6 ribu guru bantu di Jakarta, serta bisa juga mengusulkan penambahan materi pendidikan akidah di sekolah-sekolah umum. Dari 37 jam pelajaran per pekan, pendidikan akidahnya hanya dua jam. Itu sangat tidak cukup, mestinya lebih dari itu misalnya empat atau enam jam, kata politisi yang juga warga Semanan ini.

Hal senada juga dikatakan pengamat pendidikan, Haris Sambas. Dia mengatakan, harus ada perimbangan antara pendidikan umum dengan pendidikan pembentuk sikap dan kepribadian anak didik. Pembentukan kepribadian dapat diambil dari sejumlah sumber seperti pelajaran agama, dari alam, dan bahkan bisa dari kearifan budaya tradisional. Singkatnya, selain bersumber pada agama, membentuk kepribadian juga bisa dari pola pendidikan yang bersifat multikultural, terangnya.

Ida Farida, salah seorang warga setempat yang juga penggiat dunia pendidikan mengakui, ketimpangan muatan pendidikan antara yang bersifat umum dengan pendidikan agama sangat berpengaruh dengan kualitas sikap dan sifat anak didik. Dia berharap, perda yang memayungi terkait dengan penambahan waktu pendidikan agama pada sekolah umum bisa terealisasi. Itu sangat penting, sejak dini mereka harus sudah dibiasakan dalam suasana dengan moralitas yang baik...................

Sumber: Berita Jakarta
Berita Lengkap: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=39704
 

Pendidikan Agama

Agama dan Pemberantasan Korupsi (Imam Nawawi)
By admin
Tuesday, August 09, 2011 20:36:00 Clicks: 39 Send to a friend Print Version

Agama dan Pemberantasan Korupsi

Selasa, 09/08/2011 20:36 WIB -

Imam Nawawi
Peneliti pada Ethic of Counsciousness Community, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Negeri ini tidak pernah sepi dari kasus-kasus korupsi, bahkan korupsi nyaris tidak bisa dimusnahkan. Kasus korupsi paling mutakhir adalah kasus Nazaruddin dengan koleganya. Kasus mantan bendahara umum Partai Demokrat (PD) ini tidak hanya mencengangkan, tetapi juga memuakkan. Ia merendahkan akal sehat dan martabat kita sebagai bangsa yang bermartabat.

Masalah korupsi di negeri ini memang tidak pernah surut. Korupsi merupakan fenomena kompleks dan sering kali muncul dalam banyak wajah (multifaceted phenomenon) dengan sebab dan akibat yang juga beragam. Dari kompleksitas tersebut, korupsi dapat dipahami bukan lagi merupakan persoalan yang terkait dengan problem struktural, baik politik maupun ekonomi, melainkan juga terkait erat dengan problem moral, individu, dan agama.

Namun demikian, walaupun korupsi di negeri ini sudah mewabah, masyarakat kita tidak melihat bahwa korupsi tersebut merupakan permasalahan yang krusial dan urgen untuk ditanggulangi. Malahan sebagian masyarakat mulai menyerap ide-ide tindakan korupsi. Pintu toleransi masyarakat terhadap tindakan korupsi semakin hari semakin meningkat. Padahal, semestinya sebagai masyarakat yang beragama tentunya bisa menyadari hal itu, bahwa tindakan korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh agama dan perlu dilawan.

Lemahnya pengawasan

Setidaknya pelbagai kasus korupsi yang terus mencuat di negeri ini dapat dibaca dari beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan korupsi itu terus berlanjut. Pertama, pengawasan pembangunan yang tidak efektif. Selain tidak seimbangnya gaji dan keperluan, pengawasan pembangunan praktis nyaris tidak berjalan.

padahal pengawasan itulah yang menentukan berlaku atau tidaknya korupsi. Kita sering mendengarkan korupsi di berbagai proyek pembangunan yang merugikan negara sampai miliaran rupiah. Kasus pembangunan wisma atlet SEA Games, misalnya, merupakan bukti kecil betapa lemahnya sistem pengawasan pembangunan kita sehingga merugikan bangsa dan negara dalam jangka yang cukup lama.

Kedua, lemahnya resistensi masyarakat terhadap pelbagai stimulus yang memberi andil tehadap tindak korupsi. Para pemimpin agama “lemah” dalam mengampanyekan gerakan antikorupsi secara intensif.

Dan yang ketiga, dalam kaitannya dengan keberagaman, telah terjadi spilt of religiosity di kalangan para pemeluk agama akibat dari model pendidikan agama yang telalu menekankan segi simbolis dan formalisme. Keberagaman individu dalam masyarakatpun tampaknya mengalami keterbelahan. Banyak pelaku korupsi adalah orang-orang yang rajin berdoa dan taat dalam memenuhi aturan agama.

Keempat, masyarakat kurang mempunyai daya tahan dan daya lawan terhadap situasi dan kondisi yang menyuburkan korupsi, seperti birokrasi yang berbelit dan tidak transparan. Tidak sedikit serah terima uang tanpa kuitansi terkait dengan urusan birokrasi dalam kemasyarakatan dan tidak ada pula yang menyerukan serta berani melawan hal itu.

Bila keempat penyebab timbulnya tindakan korupsi tersebut tidak segera ditemukan langkah-langkah progresif pemberantasan yang sistematis, problem ini tentunya akan sangat membahayakan. Mengingat tingkat toleransi masyarakat terhadap korupsi kian meningkat, seiring dengan tidak adanya kesadaran yang tertanam dalam diri kehidupannya masyarakat.

Peran agama

Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian, dimanakan peran agama dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol dan petunjuk bagi kehidupan masyarakat? Sehubungan dengan ini, kalangan umat beragama di negeri ini membangun koalisi untuk menggemakan kembali peran profetik agama, khususnya masalah yang terkait dengan korupsi. Yakni dengan mengembangkan kembali sikap antikorupsi secara komprehensif, strategis, sistematis, dan masif.

Selain di luar agenda penegakan hukum, korupsi semestinya ditempatkan sebagai salah satu agenda moral masyarakat. Dalam hal ini pemberantasan korupsi tidak saja bersifat kuratif, dengan cara memberikan hukuman setimpal kepada para pelaku tindakan kejahatan korupsi. Lebih jauh dari itu, langkah-langkah pemberantasan korupsi mesti mencakup upaya-upaya preventif dan preservatif.

Upaya preventif yang dimaksudkan di sini adalah upaya memotong jalur sosialisasi nilai-nilai korupsi ke bawah sadar masyarakat. Artinya, nilai-nilai yang memberikan toleransi kepada tindak korupsi harus dipangkas habis, dengan cara memasukkan wacana tandingan. Sedangkan upaya preservatif dimaksudkan untuk memberikan serangkaian perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu ataupun elemen-elemen sosial yang lebih besar yang telah menyerap nilai-nilai antikorupsi.

Di sini, salah satu institusi sosial yang diharapkan dapat memberikan peran efektif bagi pemberantasan korupsi adalah agama. Harapan ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, secara historis agama telah menunjukkan kemampuannya dalam memobilitas warganya untuk mencapai tujuan-tujuan positif. Agama, antara lain telah menunjukkan kekuatannya terutama dalam pembebasan bangsa dari belenggu kolonialisme dan “penjajahan” orde baru.

Kedua, secara normatif seluruh agama mengutuk segala tindakan korupsi. Agama merupakan kekuatan moral yang oleh para pemeluknya diyakini bersumber dari the Ultimate Truth. Kekuatan moral ini memberikan batas yang dasarnya bukan sekadar kekuatan moral namun juga kekuatan sosial dalam pengertiannya sebagai lembaga.

Dalam konteks yang demikian, posisi agama mestinya memiliki daya tawar yang cukup kuat terhadap kekuasaan yang korup. Bahwa kesetiaan umat beragama terhadap negara harus dikembangkan. Apakah penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip-prinsip dasar moral, sebagian ditegaskan dalam ajaran agama. Peran agama inilah yang perlu diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat dalam rangka mendukung pemberantasan korupsi.

Sumber: Harian Joglo Semar
Berita Lengkap: http://harianjoglosemar.com/berita/agama-dan-pemberantasan-korupsi-51229.html
 

More Berita Edukasi Agama Berita
. Korupsi dan Problem Bangsa
. ICW: Korupsi Sudah Menjalar ke Sekolah
. Cendekiawan Lintas Agama Sepakat Perangi Korupsi
. Agama dan Pemberantasan Korupsi (Harian Pelita)
. Agama Tak Efektif untuk Berantas Korupsi
. Tokoh Agama: Korupsi Busukkan Moral Bangsa
. Agama pun Takluk - Kalah Melawan Korupsi
. Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
. Standardisasi Pendidikan Agama Perlu Diatur
. Romo Magnis: Pendidikan Agama Jangan Sempit

Sejarah Uniiversitas Pendidikan Indonesia

Sejarah

Universitas Pendidikan Indonesia didirikan pada tanggal 20 Oktober 1954 di Bandung, diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran Mr. Muhammad Yamin. Semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), didirikan dengan latar belakang sejarah pertumbuhan bangsa, yang menyadari bahwa upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa merupakan bagian penting dalam mengisi kemerdekaan. Beberapa alasan didirikannya PTPG antara lain: Pertama, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, bangsa Indonesia sangat haus pendidikan. Kedua, perlunya disiapkan guru yang bermutu dan bertaraf universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang akan merintis terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
Gedung utama UPI bermula dari puing sebuah villa yang bernama Villa Isola, merupakan gedung bekas peninggalan masa sebelum Perang Dunia II. (Pada masa perjuangan melawan penjajah, gedung ini pernah dijadikan markas para pejuang kemerdekaan). Puing puing itu dibangun kembali dan kemudian menjelma menjadi sebuah gedung bernama Bumi Siliwangi yang megah dengan gaya arsitekturnya yang asli.
Di sinilah untuk pertama kalinya para pemuda mendapat gemblengan pendidikan guru pada tingkat universitas, sebagai realisasi Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia (Nomor 35742 tanggal 1 September 1954 tentang pendirian PTPG/Perguruan Tinggi Pendidikan Guru).
Pada mulanya PTPG dipimpin oleh seorang Dekan yang membawahi beberapa jurusan dan atau balai, yakni:
  • Ilmu Pendidikan
  • Ilmu Pendidikan Jasmani;
  • Bahasa dan Kesusastraan Indonesia;
  • Bahasa dan Kesusastraan Inggris;
  • Sejarah Budaya;
  • Pasti Alam;
  • Ekonomi dan Hukum Negara; dan
  • Balai Penelitian Pendidikan.
Sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 40718/S pada waktu itu, yang menyatakan bahwa PTPG dapat berdiri sendiri menjadi perguruan tinggi atau perguruan tinggi dalam universitas, maka seiring dengan berdirinya Universitas Padjadjaran (UNPAD), pada tanggal 25 November 1958 PTPG diintegrasikan menjadi fakultas utama Universitas Padjadjaran dengan nama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Untuk memantapkan sistem pengadaan tenaga guru dan tenaga kependidikan, berbagai kursus yang ada pada waktu itu, yaitu pendidikan guru B I dan B II, diintegrasikan ke dalam FKIP melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 1961. Selanjutnya FKIP berkembang menjadi FKIP A dan FKIP B. Pada saat yang sama, berdiri pula Institut Pendidikan Guru (IPG), yang mengakibatkan adanya dualisme dalam lembaga pendidikan guru. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, pada tanggal 1 Mei 1963 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 tahun 1963, yang melebur FKIP dan IPG menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) sebagai satu satunya lembaga pendidikan guru tingkat universitas. FKIP A/FKIP B dan IPG yang ada di Bandung akhirnya menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP Bandung).
IKIP Bandung saat itu telah memiliki lima fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta, dan Fakultas Keguruan Ilmu Teknik. Kebutuhan akan tenaga guru kian mendesak, demikian pula tumbuhnya hasrat untuk meningkatkan dan memeratakan kemampuan para guru. Hal ini mendorong IKIP Bandung membuka ekstension, antara tahun 1967 1970 IKIP Bandung membuka ekstension di hampir seluruh kabupaten di Jawa Barat.
Peranan IKIP Bandung di tingkat nasional semakin menonjol, setelah pemerintah menetapkan bahwa IKIP Bandung menjadi IKIP Pembina yang diserahi tugas membina beberapa IKIP di luar Pulau Jawa, yaitu IKIP Bandung Cabang Banda Aceh, Palembang, Palangkaraya, dan Banjarmasin. Sesuai dengan kebijaksanaan Departemen P dan K, pada awal tahun 1970 an, secara bertahap ekstension tersebut ditutup dan cabang cabang IKIP di daerah menjadi fakultas di lingkungan universitas di daerah masing masing.
Untuk meningkatkan mutu tenaga pengajar, pada tahun 1970 IKIP Bandung membuka program Pos Doktoral melalui pembentukan Lembaga Pendidikan Pos Doktoral (LPPD) PPS yang mengelola Program S2 dan S3. Pada tahun 1976 LPPD diubah namanya menjadi Sekolah Pasca Sarjana, pada tahun 1981 berubah menjadi Fakultas Pasca Sarjana dan tahun 1991 menjadi Program Pascasarjana (PPS).
Penataan program pendidikan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan multiprogram dan multistrata, ditindaklanjuti IKIP Bandung dengan membuka Program Diploma Kependidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi guru SD menjadi lulusan D II, tahun ajaran 1990/ 1991, diselenggarakan Program D II Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Selain diselenggarakan di Kampus Bumi Siliwangi program ini juga diselenggarakan di Unit Pelaksana Program (UPP) pada beberapa sekolah eks SPG yang diintregarasikan ke IKIP. Guna meningkatkan kualifikasi Guru Taman Kanak-kanak atau play group pada tahun 1996/1997 IKIP Bandung membuka Program D II PGTK.
Seiring dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tinggi yang memberikan perluasan mandat bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang harus mampu mengikuti tuntutan perubahan serta mengantisipasi segala kemungkinan dimasa datang , IKIP Bandung diubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No. 124 tahun 1999 tertanggal 7 Oktober 1999.
Untuk memperluas jangkauan dalam mendukung pembangunan nasional, UPI harus mampu berdiri sendiri dan berkiprah. Kebulatan tekad ini menumbuhkan keyakinan akan kemampuan yang telah dimilikinya. Tekad ini memberi keyakinan kepada pemerintah bahwa UPI telah dapat bediri sendiri dan dapat diberikan tanggung jawab yang lebih besar. Dengan kepercayaan ini, melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2004. UPI diberi otonomi dan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN)
Pengembangan dan peningkatan UPI tidak saja berorientasi pada bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai bidang, termasuk pemantapan konsep dan rencana pembangunannya. Melalui bantuan Islamic Development Bank (IDB) tengah merancang dan menata pembangunan gedung kampus yang megah, modern dan representatif sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar. Bermodalkan kemampuan yang dimiliki Universitas Pendidikan Indonesia bertekad menjadikan lembaga pendidikan ini terdepan dan menjadi Universitas Pelopor dan Unggul (a Leading and Outstanding University).

Pendidikan Sejarah

Sejarah Pendidikan di Indonesia

Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini

Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”. 

Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.

Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi. 

Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)

Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.

Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.

Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan


Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.

Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.

Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global. 

Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.


Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.


Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”


Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul. 

Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.


Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).


Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”

Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini

Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”. 

Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.

Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi. 

Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)

Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.

Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.

Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan


Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.

Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.

Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global. 

Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.


Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.


Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”


Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul. 

Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.


Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).


Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”

Kalau kita membicarakan masalah pendidikan di Indonesia tentu kita akan mengenenang sejarah hitam pada awal kemerdekaan, Yups….kolonial belanda. Siapa yang gak tau momok menakutkan ini

Setelah sekian lama menjajah pemerintah kolonial Belanda akhirnya menggunakan sistem politik ethis (balas jasa) terhadap koloninya di Hindia Belanda. Kebijakan ini ditempuh setelah parlemen Belanda (Tweede Kammer) mengkritisi kebijakan kolonial yang sangat eksploitatif terhadap pribumi. Ini bukan tanpa dasar. Netherland pada waktu itu menjadi negara terkaya di Eropa dengan komoditi unggulan dari Hindia Belanda, tetapi rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan uncivilized. Sehingga waktu itu terkenal istilah “Hindia Belanda adalah gabus tempat mengapung kerajaan Netherland”. 

Perubahan kebijakan itu (politik ethis) akhirnya memungkinkan bangsa Pribumi (Indonesia) menerima pendidikan formal. Yang luput dari perhatian kita adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Apalagi jika kita terbiasa terjebak dalam nalar subtantif yang hanya bisa melihat kenyataan sebagai sesuatu yang given (apa adanya), tanpa melihat relasi-relasi yang mempengaruhi subtansi.

Kolonialisme Eropa yang kemudian melahirkan kapitalisme tampaknya membutuhkan modus operandi baru dalam pola hubungan antara negara penjajah (Imperialis) dengan negara jajahan. Sesuai dengan tuntutan pasar Eropa terhadap komoditi Hindia Belanda (gula, teh, kopi, lada, dll.), maka dituntut pula perluasan dan peningkatan produksi. Sistem sewa tanah (land rente) dan tanam paksa (cultur stelsel) tampaknya sukses menjawab tuntutan peningkatan produksi yang secara fantastis meningkatkan surplus keuntungan Netherland dan disisi lain berbanding lurus dengan penderitaan penduduk pribumi. 

Dampak dari peningkatan produksi itu adalah makin banyaknya pabrik yang harus berdiri. Ini tentu harus diimbangi dengan kelancaran distribusi, maka dibangunlah banyak jalan yang menghubungkan kota di pedalaman dengan pelabuhan dan rel kereta mulai dibangun untuk memperlancar arus produksi dari satu pabrik ke pabrik lain. (“Proyek” pembangunan ini secara signifikan mengurangi 30% jumlah penduduk Jawa yang mati karena “Rodi”)

Sejak itulah pemerintah kolonial mulai membutuhkan tenaga pribumi yang terdidik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tentu saja sekedar untuk dapat berhitung, menulis dan sedikit membaca. Dan barang tentu yang mendapat kesempatan pertama adalah golongan priyayi. Ini merupakan kelanjutan dari hubungan “harmonis” pemerintah kolonial dengan golongan feodal “priyayi “Jawa.

Sebagaimana kita tahu sejak jaman Mataram pasca Sultan Agung, golongan feodal Jawa selalu bergantung pada kolonial untuk membiayai kerajaannya dan perang melawan pemberontak (misalnya peristiwa Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro). Kebiasaan ini terus berlanjut dimana “priyayi” Jawa menjadi “tuan tanah” dalam periode cultur stelsel dan land rente yang melahirkan banyak preman dan “centheng” untuk memeras rakyat dan mengawasi produksi. Dan sebagai ucapan terimakasih, golongan priyayi mendapat kesempatan pertama menikmati pendidikan kolonial.

Kebijakan politik ethis ini dikemudian hari seperti pedang yang bermata dua. Di satu sisi penduduk pribumi yang terdidik diperlukan dalam rantai kapitalisme untuk menempati beberapa posisi ; juru bayar, juru tulis, kurir, mandor, dll. Di sisi lain makin banyak penduduk pribumi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dan membuka kran besar “pencerahan” Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional) yang kemudian hari melahirkan zaman pergerakkan


Pola pendidikan Indonesia saat ini tidak lepas dari grand design Kapitalisme Global. Jika dulu sejarah pendidikan di Indonesia tidak lebih sekedar memenuhi tuntutan kepentingan pabrik-pabrik kolonial, maka sekarangpun sama saja. Rakyat Indonesia hanya diwajibkan belajar sampai tingkat SMP yang artinya hanya diberikan kesempatan kerja sebagai “kuli”. Maka jadilah Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor tenaga kerja murah. Ini sama saja ketika dulu pemerintah kolonial hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk sekolah sampai tingkat SR. Setelah itu hanya dari golongan “ningrat” (borjuis) sajalah yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu Mendiknas yang seorang ekonom mencanangkan target kedepan sekolah lanjutan hanya 30% saja yang SMA, selebihnya 70% adalah sekolah kejuruan (SMK). Menurut logika pendidikan ekonomi pasarnya Bambang Sudibyo (Mendiknas), dan dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, ini tentu saja sangat signifikan mengingat potensi pasar kerja global saat ini dalam bidang kejuruan seperti mekanik, elektro, administrasi, dll. Tapi sekali lagi dalam konteks strategi Kapitalisme Global, kita harus berpikir kritis dan cerdas.

Pertama, terbukti bahwa orientasi pendidikan Indonesia bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju manusia sempurna (manusia Indonesia seutuhnya, insan kamil, atau ubermensch menurut Nietszche). Tapi hanya berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing (Multi National Corporation) yang sangat jelas pro barat dan kapitalis (Neo Liberal). Apalagi setelah Indonesia masuk dalam jebakan IMF yang menghasilkan regulasi (peraturan perundangan) yang menguntungkan kapitalisme internasional. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang menjadikan banyak perusahaan dalam negeri lepas ke pihak asing (Indosat misalnya yang jatuh ke Singapura dan diawasi ketat oleh CIA). Selain tentu saja hutang luar negeri yang terus bertambah, sehingga kalau diambil rata-rata setiap anak Indonesia yang baru lahir sudah harus menanggung hutang Rp. 13 juta per kepala.

Selain hal diatas, yang lebih menarik dan seharusnya mengundang rasa penasaran kita adalah ketika ramai-ramai pejabat dan artis mempromosikan sekolah kejuruan melalui iklan televisi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal dan Investasi Asing. Ini tentu semakin menambah kecurigaan kita tentang benang merah antara pendidikan dan kapitalisme global. 

Korelasinya adalah semakin banyaknya jumlah pabrik yang berdiri di Indonesia, maka akan semakin banyak tenaga kerja murah pribumi yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai “kuli” di pabrik-pabrik” asing itu. Persoalan menjadi makin panjang ketika pemerintah berinisiatif merevisi UU No. 29 tentang Tenaga Kerja dan Buruh yang semakin tidak memihak kesejahteraan buruh. Maka pendidikan Indonesia menjadi seperti terjebak dalam kubangan lumpur, selain tidak mencerdaskan, malah justru tambah memiskinkan.


Kalkulasi matematisnya jelas. Bagi pejabat, sekolah kejuruan adalah proyek untuk menyediakan tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik asing. Kenapa? Karena pemerintah butuh cadangan devisa, dengan semakin berkurangnya setoran dari minyak bumi dan gas. Selain itu, dengan dibukanya kran investasi yang menumbuhkan banyak pabrik, maka secara signifikan akan mengurangi angka pengangguran yang sangat strategis untuk meredam gejolak sosial yang bisa merongrong status quo, disamping cukup bisa mendongkrak raport pemerintah dalam sidang laporan tahunan DPR tentang angka pengangguran yang semakin baik, walaupun tetap saja tidak bisa menyembunyikan laju angka kemiskinan yang tiap tahun makin bertambah.


Sekolah kejuruan sebetulnya sangat dibutuhkan dalam negara berkembang apalagi jika semangat dan motifnya adalah penguasaan skill dan teknologi secara cerdas dan mandiri seperti pola pendidikan bangsa Korea, Jepang, Cina dan India misalnya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kenyataannya sistem pendidikan hanya mengimpor mentah-mentah pengetahuan dan teknologi barat yang notabene sudah usang di negara asalnya (pseudo sains). Ditambah lagi parahnya kualitas pembelajaran yang kebanyakan menggunakan metode satu arah, teks book dan penuh imitasi (peniruan belaka), lebih “konyol” lagi di beberapa sekolah underbow pemerintah menggunakan sistem pembelajaran militeristik yang sarat dengan nalar kekerasan. Sehingga yang dihasilkan adalah pelajar-pelajar yang tidak terbiasa berpikir kritis, tumpul kreativitasnya, tidak mandiri dan tidak cerdas, lemah mentalnya dan tidak berkarakter, tidak peka terhadap realitas sosial (dalam beberapa kasus cenderung menunjukkan perilaku menyimpang; materialistik, hedonis dan rawan kekerasan). Dalam konteks ini Sekolah Kejuruan kita menjadi tidak lebih seperti “pelatihan life skill yang dilembagakan selama 3 tahun dengan imbalan ijazah sebagai tiket melamar kerja”


Kedua, Swastanisasi Pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang sah menarik biaya sebanyak-banyaknya dari siswa, menjadikan jumlah rakyat yang berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi menjadi lebih sedikit. Atau bagi rakyat miskin yang terlanjur memilih sekolah umum dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang melangit, terjebak menjadi pengangguran permanen dengan ijasah yang tidak bisa digunakan karena tidak kontekstual dengan kebutuhan pasar kerja. Ini artinya rakyat miskin tidak boleh sekolah sampai tinggi, padahal dari merekalah (mahasiswa dari rakyat biasa ini) seringkali ide-ide kritis dan revolusioner muncul. 

Dalam hal ini pemerintah seperti menggunakan logika pedagang, menjual murah ijasah pendidikan dasar, tetapi di sisi lain menaikkan setinggi langit biaya sekolah menengah dan sekolah tinggi (Universitas). Pendeknya, tidak untung dalam barang dagangan yang satu maka harus mengambil untung dalam barang dagangan yang lainnya.


Jika demikian pendidikan Indonesia saat ini sama saja dengan pendidikan kolonial yang berpihak pada kepentingan Kapitalis. Rakyat di negeri ini terdiskriminasi untuk mendapatkan pengetahuan dan hanya terjebak menjadi serdadu-serdadu (kuli-kuli) pasar kapitalisme global. Sekolah lanjutan dan Perguruan Tinggi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya (borjuis; anak pejabat, pengusaha dan semacamnya) yang notabene juga merupakan instrumen pendukung kapitalisme. Sehingga mentalitas dan nalar berpikir pelajar sekolah tinggi (mahasiswa)pun menjadi bermental kapitalis yang sangat jauh dari realitas sosial yang ada di sekitarnya bahkan terjebak untuk menjadi peng-imitasi budaya barat secara in toto (lahir batin) mulai dari ideologi, sikap hidup, kebiasaan dan simbol (ideolgi materialistik, gaya hidup liberal, kebiasaan hedonis yang sepenuhnya barat, identifikasi simbolisme barat; rambut pirang, tato, tindik, permisifisme seksual, dll).


Dan lengkaplah sudah penderitaan bangsa ini ketika media berlomba-lomba menjadi corong kapitalisme dengan setiap detik menjejalkan informasi sampah, tontonan yang jauh dari realitas sosial dan iklan yang penuh hasutan palsu. Maka jadilah bangsa ini selain “bodoh” juga terjebak menjadi negara pasar dan bangsa konsumen (state of market and nation of consumers). Maka benarlah kata Iwan Fals dalam salah satui lirik lagunya, “Yang tua korupsi, yang muda mabok, jayalah negeri ini!”

EKONOMI RAKYAT DAN PENDIDIKAN ILMU EKONOMI

"EKONOMI RAKYAT DAN PENDIDIKAN ILMU EKONOMI"   [18 Artikel]
 
> Maret 2004
Tantangan Ilmu Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan

Oleh: Mubyarto
--- Pada kunjungan 5 hari di Bangladesh, ada seorang rekan menerima SMS dari Indonesia “Masya Allah, mencari apa di Bangladesh, apakah tidak ada negara lain yang dapat dikunjungi sebagai tempat belajar selain Bangladesh yang sudah jelas merupakan International Basketplace?” Istilah International Basketplace ini dikenalkan Robet McNamara, ketika itu Presiden Bank Dunia, untuk menggambarkan contoh kemiskinan yang sangat parah. Memang benar kebanyakan orang merasa hanya dapat belajar dari masyarakat/bangsa yang sudah lebih maju, dan lebih kaya dari kita, dan bagaimana kita dapat belajar untuk menuju ke sana...
> Agustus 2003
Perjuangan Pemikiran Ekonomi (Tanggapan Terhadap Prof Mubyarto)

Oleh: Bayu Krisnamurthi
--- Meskipun bukan jebolan “department of economics”, ada dua hal yang langsung terlintas dalam pemikiran ketika membaca tulisan Prof Mubyarto (Kompas, Jumat 11 Juli 2003). Pertama, pengalaman memberi kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi pada Pascasarjana IPB; dan kedua, apa yang disebut sebagai Millenium Development Goal (MDG) dan Human Development Report 2003 yang diulas panjang lebar oleh Kompas, 10 – 11 Juli 2003.
> Juli 2003
Teori Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Ekonomi Pancasila

Oleh: Mubyarto
--- Pendapatan nasional menurut Nabi Paul Samuelson naik dan turun karena perubahan investasi yang pada gilirannya tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga, pertumbuhan penduduk, dan faktor-faktor dinamis lainnya. Apa yang salah dalam “model” ini jika diterapkan dalam ekonomi Indonesia atau Perekonomian Pancasila?.
> Juli 2003
Kendala Sosialisasi Konsep Ekonomi Pancasila: Beberapa Catatan untuk Pengemban Ekonomi Pancasila

Oleh: Dumairy
--- Menjelang abad ke-21 kalangan ekonom, serta orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu ekonomi, dikejutkan oleh pernyataan Paul Ormerod bahwa ilmu ekonomi sudah mati! Ilmu ekonomi yang sudah mati, sebagaimana dimaksudkan oleh Ormerod, tak lain adalah ilmu ekonomi yang ada dan dikenal selama ini, yang lazim berjuluk ilmu ekonomi “konvensional”. Ilmu ekonomi yang diajarkan di sekolah-sekolah ekonomi (sekolah menengah maupun perguruan tinggi) pada umumnya.  
> Juli 2003
Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila

Oleh: Mubyarto
--- Ada tiga istilah berbeda yang dalam praktek digunakan secara bergantian dan sering dianggap sama arti yaitu Kesejahteraan Sosial (judul bab XIV UUD 1945), Kemakmuran Rakyat (ayat 3 pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya), dan Kesejahteraan Rakyat (nama sebuah Kementerian Koordinator). Kebanyakan kita tidak berminat secara serius membahas secara ilmiah perbedaan ke tiga istilah tersebut.
> Februari 2003
Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi

Oleh: Sri-Edi Swasono
--- Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dari makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka adalah posisinya yang tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat, tidak tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut onafhankelijkheid dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi, baik sosial-politik maupun sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati sifatnya.  
> Januari 2003
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia

Oleh: Mubyarto
--- Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
> Januari 2003
Menimbang Sejarah dalam Ekonomi Indonesia

Oleh: Heri Kristanto
--- Kurang lebih 3,5 abad bangsa Indonesia dalam masa penjajahan dari mulai bangsa Portugis, Belanda ataupun Jepang. Sejarah penjajahan banyak memberikan pengaruh yang fundamental dalam tatanan struktur sosial, ekonomi, budaya dan politik.
> Oktober 2002
Perpolitikan untuk Mendukung Ekonomi Alternatif?

Oleh: Mochtar Mas\'oed
--- “….. the discipline (of economics) become progressively more narrow at precisely the moment when the problems demanded broader, more political, and social insights …." Kutipan di atas tersebut adalah keluhan seorang ilmuwan ekonomi senior yang jengkel terhadap kecenderungan “myopic” dalam disiplin ilmunya. Yaitu, ketika masyarakat sedang memerlukan jawaban yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmuwan ekonomi datang dengan resep ekonomis-teknis.
> Oktober 2002
Kecenderungan Proses Pembaruan Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Oleh: Bayu Krisnamurthi
--- Jika kita yakin bahwa kebenaran dan kebaikan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Baik, maka kita juga tentu yakin bahwa proses mencari kebenaran dan kebaikan itu pada akhirnya akan menang menghadapi segala rintangan dan kendala yang menghalangi jalur perjalanannya. Dan jika kita percaya akan hal tersebut maka sebenarnya arus proses mencari kebenaran dan kebaikan itulah sesungguhnya hakekat realita kehidupan.
> Oktober 2002
Alternatif Pembangunan Untuk Indonesia: Catatan dari Seminar "Pembangunan Alternatif di Indonesia"

Oleh: Sajogyo
--- Di kampus Universitas Gadjah Mada, tanggal 12 Agustus 2002 lalu ada suatu seminar, (ISEI, Yogyakarta) dimana suatu panel pembicara membahas isi satu buku baru yang hari itu diluncurkan (“A Development Alternative for Indonesia”, oleh Mubyarto dan D.W. Bromley, GU Press, 2002, 52 hal.). Hasil diskusi seminar itu pasti akan diterbitkan oleh ISEI-Yogyakarta (seminar).
> September 2002
Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia

Oleh: Sediono MP Tjondronegoro
--- Apabila Sosiologi dipahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generalisasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antar-pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memayungi ilmu-ilmu sosial lain. Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/ eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut prinsip kegunaan (utilitarianisme). 
> April 2002
Sistem Ekonomi Indonesia

Oleh: Sri-Edi Swasono
--- Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.
> April 2002
Etika, Agama, dam Sistem Ekonomi

Oleh: Mubyarto
--- Jika ilmu ekonomi modern cenderung memisahkan ajaran efisiensi dari ajaran etika yaitu ajaran benar-salah, atau ajaran adil-tidak adil, maka ekonomika etik (ethical economics) memaksakan penyatuan keduanya sebagaimana diteliti mendalam oleh Max Weber.  
> April 2002
Etika Bisnis Pancasila

Oleh: Mubyarto
--- Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral. Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. 
> April 2002
Kekeliruan Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia

Oleh: Mubyarto
--- Jika di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya pakar-pakar ekonomi sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi tak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini.    
> April 2002
Sosialisme Pancasila

Oleh: Mubyarto
--- Sejak reformasi mulai akhir 1997 makin banyak diantara kita enggan menyebut Pancasila meskipun lambang Garuda Bhinneka Tunggal Ika masih terpampang megah di tempat-tempat resmi. Sebelum itu yang lebih dulu kita hindari ”secara diam-diam” adalah kata-kata sosialisme yang meskipun tidak kita tolak secara terang-terangan tetapi ”dirasakan” tidak wajar lagi sejak rontoknya tembok Berlin 1989 dan bubarnya Uni Soviet 1991, yang menunjukkan kemenangan paham kapitalisme atas sosialisme.
> Maret 2002
Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia

Oleh: Mubyarto
--- Sejak terbitnya buku Max Weber "The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism" (1904-5) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme(1917).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop