Powered By Blogger

Sabtu, 19 November 2011

Mengatasi pengganguran

Pendidikan adalah sarana untuk mentrasformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Pendidikan pun dijadikan standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan (prestice of life) dimata publik walaupun dari keturunannya yang tidak memiliki kekayaan berlimpah. Dengan pendidikan yang lebih tinggi pula, seseorang akan mudah mencari pekerjaan. Apalagi jika seseorang telah memperoleh gelar sarjana.
Seorang sarjana yang lebih punya bekal ilmu dan luas pengetahuannya, lebih mantap profesionalitas dan pengalamannya serta memiliki semangat wirausaha dengan jiwa kepemimpinannya yang matang seharusnya bebas dari pengangguran. Namun apa boleh dikata, realita di lapangan tidak begitu adanya. Pengangguran terdidik bagi para lulusan universitas sedikit banyak telah memperbesar angka pengangguran. Di Jawa Timur misalnya, ada lebih dari 57 ribu orang dengan gelar sarjana mengganggur dari sekitar 1 juta orang di Jatim yang mengganggur. (lagi…)

Selasa, 08 November 2011

Pendidikan Olahraga

Jumat, 08 Februari 2008

Pendidikan Jasmani

1..Pengertian
Pendidikan jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan, dan pembentukan watak
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional2. Tujuan Pendidikan Jasmani
1.Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
2.Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik
3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
4.Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
5.Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
6.Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.
1.Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya
2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya
5.Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya
6.Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung
7.Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.
4. Gerak sebagai kebutuhan anak
Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan. Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa.
Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya.
Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarn
5.Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani Dan Pendidikan Olahraga
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah : “Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.
Hal tersebut mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani dan kesehatan” (penjaskes) dalam kurikulum1994.
Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani ?
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial.
Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama

Pendidikan politik

Beberapa waktu yang lalu saya menonton sebuah acara di salah satu stasiun televisi bertajuk “kontrak politik”. Hampir sama seperti beberapa acara reality show yang berkonsep “bantuan instan” namun mengambil momentum politik. Ceritanya, tim kreatif stasiun TV tersebut mencari salah seorang anak jalanan yang tidak bisa melanjutkan sekolah dengan alasan klasik: masalah ekonomi. Lalu mereka mencari 2 calon legislatif dan meminta solusi dan meminta “kontrak politik”.
Pertama mereka mendatangi rumah salah satu caleg dari partai biru. Oleh sang caleg, si anak jalanan tersebut disuruh datang ke sebuah sekolah gratis di daerah Jakarta Timur yang dikelola oleh beberapa relawan. Sekolah itu dilakukan di sebuah rumah sederhana, sempit, dan alakadarnya. Sang caleg tidak menjanjikan apa-apa pada si anak. Dia meminta orang tua si anak untuk mencarikan sekolah gratis. Ketika si anak “mengeluh” karena sekolah itu jauh, dia meminta orang tua si anak untuk mencari sekolah sejenis di dekat tempat tinggal mereka.Andai tidak ada, dia bersedia memberikan biaya transport ala kadarnya.
Lalu sang anak dibawa ke caleg ke 2. Kebetulan dari partai berwarna merah. Disini si anak mendapat respon yang berbeda. Si caleg langsung membahas permasalahan ini ke tim suksesnya. Dia juga mengunjungi tempat tinggal si anak, lengkap dengan rombongan yang cukup banyak. Sianak akhirnya dijanjikan biaya sekolah yang ditanggung 100% oleh sang caleg. Tidak cuma itu. Untuk mengangkat perekonomian keluarga si anak, orang tua mereka dicarikan tempat berjualan, dan dimodali warung lengkap dengan segala isinya.
Diakhir tanyangan, pembawa acara mengembalikan pilihannya kepada si anak. Dan jawabannya bisa ditebak. Si anak memilih tawaran dari caleg ke 2. Happy Ending.
Buat saya, tontonan singkat berdurasi 30 menit itu mampu memberikan potret lengkap tentang sebuah negeri yang saya cintai ini. Rakyat yang miskin dan bodoh yang semakin bodoh karena dibodoh-bodohi orang pinter yang pengen segera lepas dari kemiskinan tapi tidak ingin instan;,  politikus populis yang terlihat seakan-akan memikirkan nasib rakyat dengan memberikan solusi instan yang tidak mendidik, yang sebenarnya tengah “berjualan” di  media untuk kepentingannya kampanyenya;,  media yang tengah memanfaatkan momentum dengan membuat acara demi rating tinggi dan iklan tinggi tanpa peduli apakah acara mereka memberikan nilai, makna, dan pembelajaran bagi penikmat acaranya atau hanya melakukan pembodohan;. Dan terakhir, penonton yang apatis yang cuma bisa mengutuk pembodohan yang terjadi di depan mata, atau penonton yang berharap semoga suatu saat nanti dia lah yang mendapatkan “rejeki nomplok” seperti anak jalanan tersebut.
Tidak ada yang mengagetkan dari tontonan itu. Cuma sebuah legitimasi baru yang hanya akan membuat kita semakin pesimis tentang masa depan negeri ini.Yang paling menyedihkan bagi saya meski bisa menerima realitanya bahwa mulai dari orang kaya, pintar dan berkuasa sampai anak jalanan rakyat jelata mentalnya sama : bermental oportunis dan instan.
Acara yang mungkin katanya berniat melakukan pendidikan politik tapi toh jelas hanya menunjukkan politisasi pendidikan.
Tapi toh harapan tetap harus dibangun.
Toh ditontonan itu terlihat bahwa ternyata anak-anak jalanan “keleleran” di pinggir jalan itu masih ingin sekolah dan orang tua mereka sangat ingin bahwa pendidikan itu penting sebagai media merubah nasib meskipun toh mereka lebih memilih solusi instan.
Ada politikus yang mencoba mencarikan solusi yang realistis namun mendidik meskipun dia tidak dipilih oleh si anak jalanan, meskipun bukan solusinya yang dipilih.
Buat medianya? Hanya bisa berharap akan ada media yang sadar bahwa mereka mampu mencuci otak banyak layaknya Nabi atau Pemimpin Negara, dan mereka bertanggungjawab langsung atas impact yang mereka hasilkan dari apa yang mereka sampaikan.
*Ditulis di dan untuk  Politikana, 24 Maret 2009

Pendidikan Politik

Pentingnya Pendidikan Politik Untuk Rakyat

Kamis, 7 April 2011 | 1:48 WIB

Editorial
Adakah partai kader sekarang ini? Pertanyaan ini sungguh menggelitik di jaman sekarang ini, suatu era dimana ideologi dianggap tidak lagi penting dan politik sudah dianggap “barang rongsokan”. Meskipun ada banyak partai politik, juga dengan bendera dan logo yang berbeda-beda, tetapi mereka memiliki kesamaan: tidak punya ideologi dan yang memandu mereka adalah pragmatisme kekuasaan.
Sekarang ini, konsep mengenai politik telah disempitkan pengertiannya menjadi sekedar cara memperoleh jabatan dalam pemerintahan. Padahal, jauh lebih luas dari pengertian itu, politik adalah seni membuat segala sesuatu yang tidak mungkin di hari esok menjadi mungkin hari ini. Atau, dengan kata lain, politik juga bisa dimaknai sebagai seni membangun kekuatan sosial sebagai bentuk penentangan terhadap sistem (penindasan).
Karena pengertian sempit itulah, ditambah petuah-petuah dari begitu banyak ilmuwan politik kanan dan liberal, maka rakyat pun dibuat semakin sinis terhadap politik, partai politik maupun politisi. Pertumbuhan kekecewaan atau skeptisisme terhadap politik, sebagaimana dikatakan oleh Marta Harnecker, seorang sosiolog kiri Amerika Latin, tidaklah begitu mengkhawatirkan bagi politik kanan (liberal). Sebab, seperti direkam oleh sejarah, kaum kanan dapat berkuasa dengan kediktatoran militer ataupun kebiasaan mereka akhir-akhir ini untuk menggantikan politisi dengan teknokrat.
Tetapi, apatisme terhadap partai politik akan menjadi masalah serius bagi gerakan perubahan. Sebab, tanpa sebuah gerakan politik atau instumen politik, maka gerakan perubahan akan kesulitan untuk mentransformasikan sistem.
Oleh karena itu, kita menyambut baik setiap upaya partai politik untuk menghidupkan kembali pentingnya “partai ideologis”. PDIP, misalnya, terlepas dari kekurangan yang terjadi di lapangan praktek, tetapi kita patut mengapresiasi usaha partai ini untuk menjadi partai berbasiskan ideologi. Jalan ideologi ini, menurut Ketua Umum PDIP, Megawati, menuntut hadirnya kader-kader militan sebagai penggerak.
Dan, secara khusus lagi, kita memberikan apresiasi besar kepada Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang mulai secara rutin menjalankan pendidikan politik terbuka kepada massa rakyat. Dalam beberapa bulan terakhir, PRD sedang aktif-aktifnya menjalankan pendidikan politik terbuka kepada massa. Salah satu hal menarik dari pendidikan politik itu, ialah diperkenalkannya kembali gagasan-gagasan Bung Karno mengenai Pancasila dan Sosialisme Indonesia.
Tentu, jika diibaratkan pembangunan rumah, maka apa yang dilakukan PDIP dan PRD ini barulah sebatas meletakkan batu pertama. Terlebih, dalam rangka menemukan kembali jalan ideologi, kedua partai politik ini juga dituntut untuk menerapkan tradisi atau praktik politik berbeda dengan partai-partai kanan-tradisional.
Kedepan, kita berharap bahwa rakyat tidak hanya bertemu parpol setiap lima tahun sekali di kotak suara, tetapi partai politik mulai hadir dan bekerja di tengah-tengah rakyat; melakukan advokasi kesehatan dan pendidikan, membela rakyat dari penggusuran, menentang perampasan tanah milik petani, dan hadir di tengah-tengah pemogokan kaum buruh.

Pendidikan Agama

Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
By admin
Friday, June 24, 2011 14:31:00 Clicks: 51 Send to a friend Print Version

Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
furqon/beritajakarta.com

BERITAJAKARTA.COM — 24-06-2010 14:31
Anggaran pendidikan di DKI Jakarta yang cukup besar membawa pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di DKI Jakarta. Kondisi ini tidak hanya dirasakan sekali manfaatnya bagi masyarakat kecil, tetapi juga mendapat apresiasi cukup besar dari kalangan DPRD DKI yang menilai program pendidikan yang diusung Pemprov DKI Jakarta dewasa ini sudah jauh lebih baik.

“Namun saya berharap penanaman agama dalam pendidikan juga harus ditambah. Karena muatan pendidikan budi pekerti luhur yang berkaitan dengan akidah, serta kearifan budaya masih sangat kurang. Padahal, anak didik perlu memiliki benteng diri dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang menjurus kepada hal yang negatif,” ujar Wasito Al Wasith, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta usai menjadi pembicara dialog interaktif bertajuk, Peningkatan Kualitas Mutu Pendidikan di DKI Jakarta yang diadakan Dinas Kominfo dan Kehumasan DKI Jakarta di Masjid Ar-Rohmah, Jl Kampung Duri, RT 05/01 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (24/6).

Untuk itu, Komisi E DPRD DKI Jakarta mengajak Pemprov DKI (eksekutif) bekerja sama merealisasikan perda khusus bidang pendidikan. Dia menyakini perda tersebut bisa memayungi sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan kelangsungan pendidikan di daerah sebagai wilayah otonom. Seperti di antaranya pendidikan gratis, merealisasikan pengangkatan status sekitar 6 ribu guru bantu di Jakarta, serta bisa juga mengusulkan penambahan materi pendidikan akidah di sekolah-sekolah umum. Dari 37 jam pelajaran per pekan, pendidikan akidahnya hanya dua jam. Itu sangat tidak cukup, mestinya lebih dari itu misalnya empat atau enam jam, kata politisi yang juga warga Semanan ini.

Hal senada juga dikatakan pengamat pendidikan, Haris Sambas. Dia mengatakan, harus ada perimbangan antara pendidikan umum dengan pendidikan pembentuk sikap dan kepribadian anak didik. Pembentukan kepribadian dapat diambil dari sejumlah sumber seperti pelajaran agama, dari alam, dan bahkan bisa dari kearifan budaya tradisional. Singkatnya, selain bersumber pada agama, membentuk kepribadian juga bisa dari pola pendidikan yang bersifat multikultural, terangnya.

Ida Farida, salah seorang warga setempat yang juga penggiat dunia pendidikan mengakui, ketimpangan muatan pendidikan antara yang bersifat umum dengan pendidikan agama sangat berpengaruh dengan kualitas sikap dan sifat anak didik. Dia berharap, perda yang memayungi terkait dengan penambahan waktu pendidikan agama pada sekolah umum bisa terealisasi. Itu sangat penting, sejak dini mereka harus sudah dibiasakan dalam suasana dengan moralitas yang baik...................

Sumber: Berita Jakarta
Berita Lengkap: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=39704
 

Pendidikan Agama

Agama dan Pemberantasan Korupsi (Imam Nawawi)
By admin
Tuesday, August 09, 2011 20:36:00 Clicks: 39 Send to a friend Print Version

Agama dan Pemberantasan Korupsi

Selasa, 09/08/2011 20:36 WIB -

Imam Nawawi
Peneliti pada Ethic of Counsciousness Community, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Negeri ini tidak pernah sepi dari kasus-kasus korupsi, bahkan korupsi nyaris tidak bisa dimusnahkan. Kasus korupsi paling mutakhir adalah kasus Nazaruddin dengan koleganya. Kasus mantan bendahara umum Partai Demokrat (PD) ini tidak hanya mencengangkan, tetapi juga memuakkan. Ia merendahkan akal sehat dan martabat kita sebagai bangsa yang bermartabat.

Masalah korupsi di negeri ini memang tidak pernah surut. Korupsi merupakan fenomena kompleks dan sering kali muncul dalam banyak wajah (multifaceted phenomenon) dengan sebab dan akibat yang juga beragam. Dari kompleksitas tersebut, korupsi dapat dipahami bukan lagi merupakan persoalan yang terkait dengan problem struktural, baik politik maupun ekonomi, melainkan juga terkait erat dengan problem moral, individu, dan agama.

Namun demikian, walaupun korupsi di negeri ini sudah mewabah, masyarakat kita tidak melihat bahwa korupsi tersebut merupakan permasalahan yang krusial dan urgen untuk ditanggulangi. Malahan sebagian masyarakat mulai menyerap ide-ide tindakan korupsi. Pintu toleransi masyarakat terhadap tindakan korupsi semakin hari semakin meningkat. Padahal, semestinya sebagai masyarakat yang beragama tentunya bisa menyadari hal itu, bahwa tindakan korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh agama dan perlu dilawan.

Lemahnya pengawasan

Setidaknya pelbagai kasus korupsi yang terus mencuat di negeri ini dapat dibaca dari beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan korupsi itu terus berlanjut. Pertama, pengawasan pembangunan yang tidak efektif. Selain tidak seimbangnya gaji dan keperluan, pengawasan pembangunan praktis nyaris tidak berjalan.

padahal pengawasan itulah yang menentukan berlaku atau tidaknya korupsi. Kita sering mendengarkan korupsi di berbagai proyek pembangunan yang merugikan negara sampai miliaran rupiah. Kasus pembangunan wisma atlet SEA Games, misalnya, merupakan bukti kecil betapa lemahnya sistem pengawasan pembangunan kita sehingga merugikan bangsa dan negara dalam jangka yang cukup lama.

Kedua, lemahnya resistensi masyarakat terhadap pelbagai stimulus yang memberi andil tehadap tindak korupsi. Para pemimpin agama “lemah” dalam mengampanyekan gerakan antikorupsi secara intensif.

Dan yang ketiga, dalam kaitannya dengan keberagaman, telah terjadi spilt of religiosity di kalangan para pemeluk agama akibat dari model pendidikan agama yang telalu menekankan segi simbolis dan formalisme. Keberagaman individu dalam masyarakatpun tampaknya mengalami keterbelahan. Banyak pelaku korupsi adalah orang-orang yang rajin berdoa dan taat dalam memenuhi aturan agama.

Keempat, masyarakat kurang mempunyai daya tahan dan daya lawan terhadap situasi dan kondisi yang menyuburkan korupsi, seperti birokrasi yang berbelit dan tidak transparan. Tidak sedikit serah terima uang tanpa kuitansi terkait dengan urusan birokrasi dalam kemasyarakatan dan tidak ada pula yang menyerukan serta berani melawan hal itu.

Bila keempat penyebab timbulnya tindakan korupsi tersebut tidak segera ditemukan langkah-langkah progresif pemberantasan yang sistematis, problem ini tentunya akan sangat membahayakan. Mengingat tingkat toleransi masyarakat terhadap korupsi kian meningkat, seiring dengan tidak adanya kesadaran yang tertanam dalam diri kehidupannya masyarakat.

Peran agama

Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian, dimanakan peran agama dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol dan petunjuk bagi kehidupan masyarakat? Sehubungan dengan ini, kalangan umat beragama di negeri ini membangun koalisi untuk menggemakan kembali peran profetik agama, khususnya masalah yang terkait dengan korupsi. Yakni dengan mengembangkan kembali sikap antikorupsi secara komprehensif, strategis, sistematis, dan masif.

Selain di luar agenda penegakan hukum, korupsi semestinya ditempatkan sebagai salah satu agenda moral masyarakat. Dalam hal ini pemberantasan korupsi tidak saja bersifat kuratif, dengan cara memberikan hukuman setimpal kepada para pelaku tindakan kejahatan korupsi. Lebih jauh dari itu, langkah-langkah pemberantasan korupsi mesti mencakup upaya-upaya preventif dan preservatif.

Upaya preventif yang dimaksudkan di sini adalah upaya memotong jalur sosialisasi nilai-nilai korupsi ke bawah sadar masyarakat. Artinya, nilai-nilai yang memberikan toleransi kepada tindak korupsi harus dipangkas habis, dengan cara memasukkan wacana tandingan. Sedangkan upaya preservatif dimaksudkan untuk memberikan serangkaian perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu ataupun elemen-elemen sosial yang lebih besar yang telah menyerap nilai-nilai antikorupsi.

Di sini, salah satu institusi sosial yang diharapkan dapat memberikan peran efektif bagi pemberantasan korupsi adalah agama. Harapan ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, secara historis agama telah menunjukkan kemampuannya dalam memobilitas warganya untuk mencapai tujuan-tujuan positif. Agama, antara lain telah menunjukkan kekuatannya terutama dalam pembebasan bangsa dari belenggu kolonialisme dan “penjajahan” orde baru.

Kedua, secara normatif seluruh agama mengutuk segala tindakan korupsi. Agama merupakan kekuatan moral yang oleh para pemeluknya diyakini bersumber dari the Ultimate Truth. Kekuatan moral ini memberikan batas yang dasarnya bukan sekadar kekuatan moral namun juga kekuatan sosial dalam pengertiannya sebagai lembaga.

Dalam konteks yang demikian, posisi agama mestinya memiliki daya tawar yang cukup kuat terhadap kekuasaan yang korup. Bahwa kesetiaan umat beragama terhadap negara harus dikembangkan. Apakah penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip-prinsip dasar moral, sebagian ditegaskan dalam ajaran agama. Peran agama inilah yang perlu diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat dalam rangka mendukung pemberantasan korupsi.

Sumber: Harian Joglo Semar
Berita Lengkap: http://harianjoglosemar.com/berita/agama-dan-pemberantasan-korupsi-51229.html
 

More Berita Edukasi Agama Berita
. Korupsi dan Problem Bangsa
. ICW: Korupsi Sudah Menjalar ke Sekolah
. Cendekiawan Lintas Agama Sepakat Perangi Korupsi
. Agama dan Pemberantasan Korupsi (Harian Pelita)
. Agama Tak Efektif untuk Berantas Korupsi
. Tokoh Agama: Korupsi Busukkan Moral Bangsa
. Agama pun Takluk - Kalah Melawan Korupsi
. Pendidikan Agama di Sekolah Perlu Ditambah
. Standardisasi Pendidikan Agama Perlu Diatur
. Romo Magnis: Pendidikan Agama Jangan Sempit

Sejarah Uniiversitas Pendidikan Indonesia

Sejarah

Universitas Pendidikan Indonesia didirikan pada tanggal 20 Oktober 1954 di Bandung, diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran Mr. Muhammad Yamin. Semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), didirikan dengan latar belakang sejarah pertumbuhan bangsa, yang menyadari bahwa upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa merupakan bagian penting dalam mengisi kemerdekaan. Beberapa alasan didirikannya PTPG antara lain: Pertama, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, bangsa Indonesia sangat haus pendidikan. Kedua, perlunya disiapkan guru yang bermutu dan bertaraf universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang akan merintis terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
Gedung utama UPI bermula dari puing sebuah villa yang bernama Villa Isola, merupakan gedung bekas peninggalan masa sebelum Perang Dunia II. (Pada masa perjuangan melawan penjajah, gedung ini pernah dijadikan markas para pejuang kemerdekaan). Puing puing itu dibangun kembali dan kemudian menjelma menjadi sebuah gedung bernama Bumi Siliwangi yang megah dengan gaya arsitekturnya yang asli.
Di sinilah untuk pertama kalinya para pemuda mendapat gemblengan pendidikan guru pada tingkat universitas, sebagai realisasi Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia (Nomor 35742 tanggal 1 September 1954 tentang pendirian PTPG/Perguruan Tinggi Pendidikan Guru).
Pada mulanya PTPG dipimpin oleh seorang Dekan yang membawahi beberapa jurusan dan atau balai, yakni:
  • Ilmu Pendidikan
  • Ilmu Pendidikan Jasmani;
  • Bahasa dan Kesusastraan Indonesia;
  • Bahasa dan Kesusastraan Inggris;
  • Sejarah Budaya;
  • Pasti Alam;
  • Ekonomi dan Hukum Negara; dan
  • Balai Penelitian Pendidikan.
Sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 40718/S pada waktu itu, yang menyatakan bahwa PTPG dapat berdiri sendiri menjadi perguruan tinggi atau perguruan tinggi dalam universitas, maka seiring dengan berdirinya Universitas Padjadjaran (UNPAD), pada tanggal 25 November 1958 PTPG diintegrasikan menjadi fakultas utama Universitas Padjadjaran dengan nama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Untuk memantapkan sistem pengadaan tenaga guru dan tenaga kependidikan, berbagai kursus yang ada pada waktu itu, yaitu pendidikan guru B I dan B II, diintegrasikan ke dalam FKIP melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 1961. Selanjutnya FKIP berkembang menjadi FKIP A dan FKIP B. Pada saat yang sama, berdiri pula Institut Pendidikan Guru (IPG), yang mengakibatkan adanya dualisme dalam lembaga pendidikan guru. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, pada tanggal 1 Mei 1963 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 tahun 1963, yang melebur FKIP dan IPG menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) sebagai satu satunya lembaga pendidikan guru tingkat universitas. FKIP A/FKIP B dan IPG yang ada di Bandung akhirnya menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP Bandung).
IKIP Bandung saat itu telah memiliki lima fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta, dan Fakultas Keguruan Ilmu Teknik. Kebutuhan akan tenaga guru kian mendesak, demikian pula tumbuhnya hasrat untuk meningkatkan dan memeratakan kemampuan para guru. Hal ini mendorong IKIP Bandung membuka ekstension, antara tahun 1967 1970 IKIP Bandung membuka ekstension di hampir seluruh kabupaten di Jawa Barat.
Peranan IKIP Bandung di tingkat nasional semakin menonjol, setelah pemerintah menetapkan bahwa IKIP Bandung menjadi IKIP Pembina yang diserahi tugas membina beberapa IKIP di luar Pulau Jawa, yaitu IKIP Bandung Cabang Banda Aceh, Palembang, Palangkaraya, dan Banjarmasin. Sesuai dengan kebijaksanaan Departemen P dan K, pada awal tahun 1970 an, secara bertahap ekstension tersebut ditutup dan cabang cabang IKIP di daerah menjadi fakultas di lingkungan universitas di daerah masing masing.
Untuk meningkatkan mutu tenaga pengajar, pada tahun 1970 IKIP Bandung membuka program Pos Doktoral melalui pembentukan Lembaga Pendidikan Pos Doktoral (LPPD) PPS yang mengelola Program S2 dan S3. Pada tahun 1976 LPPD diubah namanya menjadi Sekolah Pasca Sarjana, pada tahun 1981 berubah menjadi Fakultas Pasca Sarjana dan tahun 1991 menjadi Program Pascasarjana (PPS).
Penataan program pendidikan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan multiprogram dan multistrata, ditindaklanjuti IKIP Bandung dengan membuka Program Diploma Kependidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi guru SD menjadi lulusan D II, tahun ajaran 1990/ 1991, diselenggarakan Program D II Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Selain diselenggarakan di Kampus Bumi Siliwangi program ini juga diselenggarakan di Unit Pelaksana Program (UPP) pada beberapa sekolah eks SPG yang diintregarasikan ke IKIP. Guna meningkatkan kualifikasi Guru Taman Kanak-kanak atau play group pada tahun 1996/1997 IKIP Bandung membuka Program D II PGTK.
Seiring dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tinggi yang memberikan perluasan mandat bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang harus mampu mengikuti tuntutan perubahan serta mengantisipasi segala kemungkinan dimasa datang , IKIP Bandung diubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No. 124 tahun 1999 tertanggal 7 Oktober 1999.
Untuk memperluas jangkauan dalam mendukung pembangunan nasional, UPI harus mampu berdiri sendiri dan berkiprah. Kebulatan tekad ini menumbuhkan keyakinan akan kemampuan yang telah dimilikinya. Tekad ini memberi keyakinan kepada pemerintah bahwa UPI telah dapat bediri sendiri dan dapat diberikan tanggung jawab yang lebih besar. Dengan kepercayaan ini, melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2004. UPI diberi otonomi dan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN)
Pengembangan dan peningkatan UPI tidak saja berorientasi pada bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai bidang, termasuk pemantapan konsep dan rencana pembangunannya. Melalui bantuan Islamic Development Bank (IDB) tengah merancang dan menata pembangunan gedung kampus yang megah, modern dan representatif sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar. Bermodalkan kemampuan yang dimiliki Universitas Pendidikan Indonesia bertekad menjadikan lembaga pendidikan ini terdepan dan menjadi Universitas Pelopor dan Unggul (a Leading and Outstanding University).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop