Beberapa waktu yang lalu saya menonton sebuah acara di salah satu stasiun televisi bertajuk “kontrak politik”. Hampir sama seperti beberapa acara reality show yang berkonsep “bantuan instan” namun mengambil momentum politik. Ceritanya, tim kreatif stasiun TV tersebut mencari salah seorang anak jalanan yang tidak bisa melanjutkan sekolah dengan alasan klasik: masalah ekonomi. Lalu mereka mencari 2 calon legislatif dan meminta solusi dan meminta “kontrak politik”.
Pertama mereka mendatangi rumah salah satu caleg dari partai biru. Oleh sang caleg, si anak jalanan tersebut disuruh datang ke sebuah sekolah gratis di daerah Jakarta Timur yang dikelola oleh beberapa relawan. Sekolah itu dilakukan di sebuah rumah sederhana, sempit, dan alakadarnya. Sang caleg tidak menjanjikan apa-apa pada si anak. Dia meminta orang tua si anak untuk mencarikan sekolah gratis. Ketika si anak “mengeluh” karena sekolah itu jauh, dia meminta orang tua si anak untuk mencari sekolah sejenis di dekat tempat tinggal mereka.Andai tidak ada, dia bersedia memberikan biaya transport ala kadarnya.
Lalu sang anak dibawa ke caleg ke 2. Kebetulan dari partai berwarna merah. Disini si anak mendapat respon yang berbeda. Si caleg langsung membahas permasalahan ini ke tim suksesnya. Dia juga mengunjungi tempat tinggal si anak, lengkap dengan rombongan yang cukup banyak. Sianak akhirnya dijanjikan biaya sekolah yang ditanggung 100% oleh sang caleg. Tidak cuma itu. Untuk mengangkat perekonomian keluarga si anak, orang tua mereka dicarikan tempat berjualan, dan dimodali warung lengkap dengan segala isinya.
Diakhir tanyangan, pembawa acara mengembalikan pilihannya kepada si anak. Dan jawabannya bisa ditebak. Si anak memilih tawaran dari caleg ke 2. Happy Ending.
Buat saya, tontonan singkat berdurasi 30 menit itu mampu memberikan potret lengkap tentang sebuah negeri yang saya cintai ini. Rakyat yang miskin dan bodoh yang semakin bodoh karena dibodoh-bodohi orang pinter yang pengen segera lepas dari kemiskinan tapi tidak ingin instan;, politikus populis yang terlihat seakan-akan memikirkan nasib rakyat dengan memberikan solusi instan yang tidak mendidik, yang sebenarnya tengah “berjualan” di media untuk kepentingannya kampanyenya;, media yang tengah memanfaatkan momentum dengan membuat acara demi rating tinggi dan iklan tinggi tanpa peduli apakah acara mereka memberikan nilai, makna, dan pembelajaran bagi penikmat acaranya atau hanya melakukan pembodohan;. Dan terakhir, penonton yang apatis yang cuma bisa mengutuk pembodohan yang terjadi di depan mata, atau penonton yang berharap semoga suatu saat nanti dia lah yang mendapatkan “rejeki nomplok” seperti anak jalanan tersebut.
Tidak ada yang mengagetkan dari tontonan itu. Cuma sebuah legitimasi baru yang hanya akan membuat kita semakin pesimis tentang masa depan negeri ini.Yang paling menyedihkan bagi saya meski bisa menerima realitanya bahwa mulai dari orang kaya, pintar dan berkuasa sampai anak jalanan rakyat jelata mentalnya sama : bermental oportunis dan instan.
Acara yang mungkin katanya berniat melakukan pendidikan politik tapi toh jelas hanya menunjukkan politisasi pendidikan.
Tapi toh harapan tetap harus dibangun.
Toh ditontonan itu terlihat bahwa ternyata anak-anak jalanan “keleleran” di pinggir jalan itu masih ingin sekolah dan orang tua mereka sangat ingin bahwa pendidikan itu penting sebagai media merubah nasib meskipun toh mereka lebih memilih solusi instan.
Ada politikus yang mencoba mencarikan solusi yang realistis namun mendidik meskipun dia tidak dipilih oleh si anak jalanan, meskipun bukan solusinya yang dipilih.
Buat medianya? Hanya bisa berharap akan ada media yang sadar bahwa mereka mampu mencuci otak banyak layaknya Nabi atau Pemimpin Negara, dan mereka bertanggungjawab langsung atas impact yang mereka hasilkan dari apa yang mereka sampaikan.
*Ditulis di dan untuk Politikana, 24 Maret 2009
Selasa, 08 November 2011
Pendidikan politik
20.20
DCC BANDAR LAMPUNG
No comments
0 komentar:
Posting Komentar